Pertanyaan ini juga sering diajukan oleh
netters Kristen di forum Debat Islam-Kristen. Biasanya dalam pertanyaan tersebut ada nuansa
gugatan :”Koq bisa Tuhan yang Maha Kuasa bersumpah demi sesuatu yang lebih
rendah..?? karena sumpah seharusnya dilakukan demi hal yang lebih tinggi..”.
Dari beberapa kali diskusi, saya menemukan suatu kesimpulan adanya persamaan
persepsi dari netters Kristen, ketika terjadi sumpah demi sesuatu, maka sesuatu
tersebut diposisikan sebagai pihak yang berkuasa untuk menghakimi si pembuat
sumpah apabila isi sumpah yang diucapkan tersebut tidak benar, atau pihak yang
bersumpah tidak menepati apa yang disumpahkannya. Jadi ketika mereka menemukan
dalam Al-Qur’an, Allah bersumpah demi matahari, bulan, bintang, waktu, langit,
dll, maka pertanyaannya :”Mana mungkin matahari berkuasa untuk menghakimi Tuhan,
apabila Tuhan tidak menepati apa yang telah disumpahkan-Nya..?”.
Dalam Al-Qur’an kita sering menemukan ayat
tentang Allah bersumpah demi sesuatu, baik dengan kalimat yang mencantumkan kata
‘bersumpah’ maupun kata tersebut tersembunyi dan hanya mencantumkan ‘demi
sesuatu’. Kedua cara ini adalah sama, bahwa Allah telah bersumpah (soal ini
terkait dengan pemakaian kaedah tata-bahasa Arab, dimana sumpah disampaikan
dengan memakai 3 alternatif huruf : 'waw', 'ba' dan 'ta'.
Pengertian Sumpah dalam Al-Qur'an
Kata ‘sumpah’ berasal dari kata Arab ‘qasam’
yang akar katanya disusun oleh huruf ‘qaf-sin-mim’, kata ini menurunkan beberapa
pengertian : to divide, dispose, separate, apportion, distribute..
http://www.studyquran.org/LaneLexicon/Volume8/00000242.pdf
Kata ‘qasam’ diartikan ‘bersumpah’ misalnya
terdapat pada ayat :
falaa uqsimu bimawaaqi'i alnnujuumi
[56:75] Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya
bagian-bagian Al-Quraan.
falaa uqsimu bialsysyafaqi
[84:16] Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan
cahaya merah di waktu senja,
laa uqsimu bihaadzaa albaladi
[90:1] Aku benar-benar bersumpah dengan kota
ini (Mekah),
Namun kata ‘qasam’ dengan derivasinya juga
diartikan membagi, memisahkan, misalnya terdapat pada ayat :
wa-idzaa hadhara alqismata uluu alqurbaa
waalyataamaa waalmasaakiinu faurzuquuhum minhu waquuluu lahum qawlan
ma'ruufaan
[4:8] Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir
kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Faalmuqassimaati amraan
[51:4] dan (malaikat-malaikat) yang
membagi-bagi urusan
tilka idzan qismatun dhiizaa
[53:22] Yang demikian itu tentulah suatu
pembagian yang tidak adil.
Muncul pertanyaan :”Lalu apa hubungannya
bersumpah dengan membagi atau memisahkan..??”, apa sebenarnya arti bersumpah
ketika ada kalimat ‘Tuhan bersumpah demi makhluk’..?? bagaimana sebenarnya
posisi makhluk tersebut dalam sumpah tersebut..?? apakah benar posisinya sebagai
pihak yang berkuasa untuk menghakimi pihak yang bersumpah..?? bagaimana halnya
ketika Allah bersumpah demi diri-Nya sendiri..??
Kata ‘qasam’ sendiri dalam bahasa Arab setara
dengan istilah lain :
Dalam bahasa Arab sumpah disebut dengan
al-aimanu, al-halfu, al-qasamu. Al-aimanu jama’ dari kata al-yamiinu (tangan
kanan) karena orang Arab di zaman Jahiliyah apabila bersumpah satu sama lain
saling berpegangan tangan kanan. Kata al-yamiinu secara etimologis dikaitakan
dengan tangan kanan yang bisa berarti al-quwwah (kekuatan), dan al-qasam
(sumpah). Dengan demikian pengertian al-yuamiinu merupakan perpaduan dari tiga
makna tersebut yang selanjutnya digunakan untuk bersumpah. Dikaitkan dengan
kekuatan (al-quwwah), karena orang yang ingin mengatakan atau menyatakan sesuatu
dikukuhkan dengan sumpah sehingga pernyataannya lebih kuat sebagaimana tangan
kanan lebih kuat dari tangan kiri.
http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=53744579012&topic=7485
sehingga selain arti kata : membagi atau
memisahkan, ‘bersumpah’ juga mengandung unsur : menguatkan,
mengukuhkan.
Yang perlu diperjelas disini adalah, ketika
Allah bersumpah dengan nama makhluk-Nya, maka tidak ada suatu kesan yang muncul
dari umat Islam, bahwa Allah telah ‘menyerahkan kekuasaan untuk menghakimi’
sumpah-Nya tersebut kepada benda tersebut. Baik didasar sumpah ataupun tidak,
ataupun sumpah tersebut dilontarkan oleh siapapun, maka pihak yang berkuasa
untuk menghakimi hanyalah Allah. Kalau begitu bagaimanakah sebenarnya ‘status’
makhluk/benda yang terdapat dalam sumpah itu..?? maka posisi makhluk/benda
tersebut adalah sebagai SAKSI atas sumpah tersebut, saksi yang dikesankan
independen, berdiri sendiri dan terpisah dari pihak yang bersumpah, berfungsi
untuk menguatkan dan mengukuhkan bahwa apa yang disampaikan dalam sumpah
tersebut benar adanya. Ini terkait dengan tujuan suatu sumpah dilontarkan, yaitu
untuk meyakinkan pihak lain atas kebenaran apa yang disumpahkan, dimana pihak
lain tersebut ragu-ragu atau tidak percaya. Kesan terpisah ini sejalan dengan
tujuan disampaikannya sumpah, sehingga seolah-olah Allah mengatakan ;”Sekalipun
Aku adalah Tuhan Yang Maha Berkuasa, namun makhluk/benda yang Aku jadikan objek
sumpah-Ku, dipersilahkan memutuskan sendiri kesaksiannya. Apabila Aku telah
berbohong atau sumpah-Ku tidak benar, maka Aku sendiri yang akan menghakimi
diri-Ku..”.
Pengertian ‘qasam’ ini juga berlaku dalam hal
Tuhan bersumpah atas diri-Nya sendiri. Pemisahan diibaratkan ‘posisi’ Tuhan
sebagai pihak yang bersumpah dan sebagai pihak yang bersaksi merupakan dua hal
yang seolah-olah terpisah, sehingga kesaksian Tuhan adalah adli, kuat dan benar.
Ini memenuhi tujuan untuk apa sumpah tersebut dilontarkan, yaitu untuk
meyakinkan pihak lain yang tidak percaya dan ragu-ragu. Disinilah kesetaraan
antara istilah ‘qasam’ dan ‘aimanu’, yaitu kemandirian sebagai saksi menunjang
pengukuhan dan penguatan sumpah yang disampaikan.
Berdasarkan penjelasan ini, pertanyaan dari
pihak Kristen sudah bisa dijelaskan, apa yang mereka gugat tentang sumpah Allah
yang terdapat dalam Al-Qur’an karena mereka memakai ukuran sendiri tentang apa
yang dimaksud dengan sumpah dan subjek sumpah, mengartikan bahwa makhluk/n]benda
yang terdapat dalam sumpah adalah sebagai pihak yang berkuasa untuk menghakimi,
dan bukan sebagai saksi yang akan memberikan kesaksian terhadap kebenaran sumpah
tersebut. Dalam istilah Islam, terlihat bahwa posisinya bukanlah demikian,
karena yang berkuasa untuk menghakimi tetap saja ada ditangan Allah,
makhluk/benda berfungsi sebagai saksi..
Sekarang muncul pertanyaan : lalu apakah
seorang Muslim bisa bersumpah juga demi/dengan nama makhluk selain Allah..??
Terus-terang saya sama sekali tidak menemukan adanya larangan dalam Al-Qur’an
tentang ini. Larangan bersumpah demi/dengan/atas mana selain Allah terdapat
dalam hadist :
Umar bin Khaththab mendengar seorang laki-laki
mengatakan,”Demi Ka’bah” maka ia mengatakan, “Janganlah bersumpah dengan selain
Allah, sesungguhnya aku mendengar rasulullah saw bersabda, ‘barangsiapa
bersumpah dengan selain Allah, maka ia telah kufur atau syirik’” (HR Abu dawud,
at-Tirmidzi dan Ahmad)
Dari Umar bin Khaththab, ia berkata; Rasulullah
saw bersabda, “Sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nenek moyang
kalian” (HR Muslim)
Dan hadits Abu Hurairah r.a., bahwasanya
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang berkata dalam sumpahnya, Demi Latta
dan Uzza hendaklah ia menebusnya dengan mengucapkan, 'Laa Ilaaha
Illallaah'."
Namun ternyata dalam riwayat yang lain,
diungkapkan juga bahwa Rasulullah pernah bersumpah demi makhluk selain Allah
:
sabda Nabi kepada seorang Arab Badui, "Demi
ayahnya, beruntunglah ia jika benar katanya. Demi ayahnya, niscaya ia masuk
Jannah jika benar katanya." (HR Bukhari dan Muslim)
Dan jawaban beliau kepada orang yang bertanya
tentang shadaqah, "Demi ayahmu, engkau akan diberitahu tentang hal itu." (HR
Bukhari dan Muslim)
Dari sini sebenarnya bisa kita simpulkan bahwa
yang dimaksud larangan bersumpah demi nama selain Allah adalah dalam konteks :
menjadikan sesuatu selain Allah tersebut sebagai pihak yang berkuasa untuk
menghakimi sumpah kita, makanya dalam hadist tersebut dikatakan sebagai syirik,
apalagi disampaikan contoh bahwa nama lain selain Allah tersebut adalah Latta
dan Uzza, berhala yang sebelumnya disembah oleh kaum musyrik Makkah.
Namun tentu kita harus mensikapinya dengan cara
‘mengambil jalan yang paling aman’, daripada menjadikan makhluk/benda sebagai
saksi sumpah kita, akan lebih baik kalau Allah-lah yang kita jadikan saksi,
sekaligus pihak yang berkuasa menghakimi sumpah kita. Selain itu jalan yang
paling aman, juga terkesan kita sungguh-sungguh melakukan sumpah agar pihak lain
yang tidak percaya menjadi yakin dengannya, siapa lagi pihak yang kesaksiannya
kuat dan bisa dipercaya melebihi Allah..?? bukankah memang itu tujuan seseorang
melakukan sumpah..??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar