Mantan budak dalam Islam banyak yang memiliki
kedudukan terhormat di tengah umat Islam. Jabatan Wali (gubernur wilayah) dan
Amirul Jihad (panglima perang), banyak dipegang oleh bekas budak yang
dimerdekakan. Seperti Zaid bin Haritsah, yang memimpin pasukan Islam dalam
Perang Mu’tah (tahun 8 H). Ibnu Umar berkata: “Ketika kaum Muhajirin yang
pertama sampai di Ushbah (suatu tempat di Quba’) sebelum kedatangan Rasulullah,
maka yang mengimami shalat mereka adalah Salim, mantan budak Abu Hudzaifah
(diantara mereka yang diimami terdapat Umar, Abu Salamah, Zaid, dan Amir bin
Rabi’ah). Salim adalah orang yang paling banyak hafal Al-Qur’an.” (HR
Bukhari).
Perlakuan Islam terhadap para budak jauh lebih
baik daripada bangsa-bangsa yang lain. Stanley Lane Poole dalam bukunya ‘Orang
Arab di Spanyol’ berkata: “Setelah sekian lama menderita di bawah kekuasaan
orang Romawi dan Goth, kaum budak di Spanyol menyambut kekuasaan Islam dengan
gembira. Perbudakan dalam masyarakat Islam ternyata jauh berbeda dari yang
sebelumnya mereka rasakan.”
Saat sistem Khilafah berubah menjadi Kerajaan
(Mulkiyah) pasca berakhirnya masa Khalifah Ar Rasyid, umat Islam secara perlahan
mulai mengalami degradasi. Banyak prestasi yang dicapai di masa Mulkiyah (dari
Dinasti Umayyah sampai Turki Utsmani), namun secara perlahan muncul pula
berbagai penyimpangan. Di antaranya adalah dalam sistem perbudakan. Muncullah
apa yang dinamakan Perbudakan Yang Dibuat-buat. Ada sebagian orang yang ingin
diperlakukan sebagai budak dan lebih menyukainya daripada hidup merdeka. Mereka
menerjunkan diri dalam perbudakan di luar cara yang dibolehkan Islam (tawanan
perang), demi memperoleh kehidupan di lingkungan yang mewah. Hal itu juga
disebabkan istana Sultan dan pejabatnya yang selalu terbuka untuk dimasuki
budak-budak buatan. Para orang tua banyak yang mengajari anaknya keterampilan
kesenian supaya dapat masuk ke istana. (Islam dalam Timbangan. Op. Cit. hal.
322-323).
Berbagai ayat dan hadits yang secara
sistematis seharusnya dapat menghapus perbudakan, menjadi terabaikan akibat para
Sultan dan pejabatnya yang mulai menghidupkan kembali kebiasaan Jahiliyah
mengumpulkan budak. Budak-budak diminta dalam jumlah besar untuk dijadikan
pemusik, penyanyi, penari, pekerja rumah tangga, dan bahkan untuk dijadikan
selir. Di antara para Sultan yang terkenal gemar mengumpulkan budak adalah para
Sultan dari Dinasti Fathimiah (909-1171 M) yang beraliran Syi’ah, serta para
Sultan dari paruh akhir Dinasti Abbasiyah (750 – 1258 M), mereka memiliki ribuan
budak dalam istananya. Tidak jarang para Sultan tersebut mengikuti tradisi
negara-negara Kafir yang mengebiri budaknya. Hal ini jelas bertentangan dengan
hukum Islam, karena Syari’at Islam mengharamkan mengebiri manusia (baik orang
merdeka maupun budak) (Fiqih Sunnah, Op. Cit. hal. 419).
Namun tidak sedikit dari para budak itu yang
kemudian memainkan peran penting dalam sejarah umat Islam. Seperti berdirinya
Dinasti Mameluk (1250 – 1584 M) yang berasal dari para mantan budak Dinasti
Ayyubiyah (1171-1250 M). Dinasti Mameluk berhasil mengalahkan pasukan Mongol di
masa Sultan Atabek Quthuz dan Baibars (Perang Ain Jalut 1260), serta mengusir
sisa tentara Salib di masa Sultan Saifuddin Qalawun pada tahun 1291.
Seiring dengan kondisi jatuhnya peradaban
Islam, penyimpangan terhadap mekanisme perbudakan pun semakin lama. Arab Saudi
bahkan baru menghapus perbudakan pada tahun 1960-an. Padahal sejarah juga
mencatat bahwa negara Islam adalah termasuk yang mempelopori penghapusan
perbudakan. Penguasa (Bey) Tunisia pada tahun 1845 ketika melihat sebagian besar
pemilik budak tidak memperlakukan budaknya dengan baik, ia lantas memutuskan
untuk memerdekakan seluruh budak di negerinya. Keputusannya itu dibenarkan oleh
Majelis Fatwa Tunis. Sedangkan Amerika Serikat sendiri baru menghapus perbudakan
pada tahun 1865.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar