Perbudakan adalah keadaan di mana orang
menguasai atau memiliki orang lain. Sebagian ahli sejarah mengatakan perbudakan
mulai timbul sesudah pengembangan pertanian, sekitar sepuluh-ribu tahun yang
lalu. Awalnya, para budak terdiri dari penjahat atau orang-orang yang tidak bisa
membayar hutang. Ketika terjadi peperangan, kaum yang kalah juga diperlakukan
sebagai budak oleh kaum yang menang.
Menurut ahli sejarah, perbudakan
pertama-tama diketahui terjadi di masyarakat Mesopotamia (Sumeria, Babilonia,
Asiria, Chaldea). Perekonomian kota yang pertama berkembang di sana, dilandaskan
pada teknologi pertanian yang berkiblat pada kuil-kuil, imam, lumbung, dan para
juru tulis. Surplus sosial menyebabkan terjadinya lembaga ekonomi berdasar
peperangan dan perbudakan. Administrasi untuk surplus yang harus disimpan,
menimbulkan kebutuhan akan sistem akuntansi. Masalah ini melahirkan sistem
tulis-menulis sekitar 6.000 tahun yang lalu. (Perkembangan Pertanian dari Zaman
ke Zaman. Purwati Soeprapto dan S. Soeprapto. http://www.lablink.or.id/, Maret
2006).
Kebudayaan Mesopotamia bertahan beribu tahun
di bawah banyak pemerintahan yang berbeda. Pengaruhnya memancar ke Siria dan
Mesir melalui perdagangan dan peperangan. Sejalan dengan proses migrasi dan
perdagangan yang telah berlangsung sekian lama, pengaruh kebudayaan Mesopotamia
juga sampai ke India dan Cina. Sedangkan untuk benua Amerika, terdapat dua
pendapat mengenai migrasi penduduk kuno ke benua tersebut. Pendapat pertama dan
yang paling populer adalah penduduk asli Amerika berasal dari Asia yang
melintasi Selat Bering (Amerika Utara) dan kemudian menyebar ke seluruh benua
Amerika dengan membawa serpihan kebudayaan dari tanah asalnya di Asia. Pendapat
kedua adalah penduduk asli Amerika berasal dari Afrika Utara yang melintasi
Atlantik dan masuk ke Amerika Tengah dan Selatan dengan membawa serpihan budaya
kuno Afrika Utara.
Perbudakan pun terjadi di masyarakat Mesir,
India, Yunani, Romawi, Cina, dan Amerika. Perbudakan berkembang, seiring dengan
perkembangan perdagangan dan industri. Permintaan budak meningkat untuk
menghasilkan barang-barang keperluan ekspor. Kebanyakan orang kuno berpendapat
bahwa perbudakan merupakan keadaan alam yang wajar, yang dapat terjadi terhadap
siapapun dan kapanpun. Berbagai cara ditempuh seperti menaklukan bangsa lain
lalu menjadikan mereka sebagai budak, atau membeli dari para pedagang
budak.
Di Mesir kuno, kaum budak adalah tenaga
kerja utama dalam pembangunan piramid, kuil-kuil peribadatan, dan istana Firaun.
Di Cina kuno, perbudakan disebabkan karena kemiskinan. Orang terpaksa menjual
dirinya sendiri atau anak-anaknya untuk menghindari kelaparan. Pelaut-pelaut
Yunani kuno sering merampas penduduk di berbagai daerah pesisir Afrika Utara,
Asia Kecil, dan Eropa Selatan, kemudian menjualnya di pasar-pasar budak Athena
atau kota lainnya. Tidak ada filsuf mereka yang menganjurkan memerdekakan budak.
Umumnya para filsuf Yunani membagi manusia menjadi dua bagian, yaitu manusia
yang diciptakan merdeka dan manusia yang diciptakan untuk menjadi budak. Manusia
jenis pertama berkewajiban melakukan kerja otak, administrasi, dan menempati
kedudukan penting. Sedangkan manusia jenis kedua berkewajiban melakukan kerja
badan dan mengabdi pada manusia pertama. Plato dalam bukunya ‘Republik’
mengatakan bahwa kaum budak tidak berhak atas kewarganegaraan, mereka harus
tunduk serta taat kepada tuan-tuan pemilik mereka. Aristoteles berpendapat bahwa
warga negara adalah manusia merdeka. Kewajiban budak adalah mengumpulkan
kekayaan yang diperlukan tuan pemiliknya. Warga negara (manusia merdeka) tidak
mempunyai waktu untuk mengurus masalah penghidupan, dan keagungan dirinya tidak
boleh merosot dengan melakukan kerja tangan. Ia perlu mendapatkan manusia lain
yang lebih rendah untuk melakukan semua pekerjaan kasar, dan alam telah
menyediakan bangsa lain yang diberi kecerdasan sedikit dengan tubuh yang kuat
untuk dijadikan perkakas bernyawa, merekalah kaum budak. Bangsa Romawi
melanjutkan tradisi Yunani dengan memperlakukan bangsa yang kalah perang sebagai
bangsa yang inferior dan sang pemenang dapat melakukan apa saja terhadap mereka,
termasuk mengirim ke arena Gladiator sebagai hiburan. Para pedagang budak selalu
mengikuti gerakan pasukan Rowawi, bukan untuk berperang melainkan untuk membeli
tawanan perang.
Di kalangan Yahudi, perbudakan dibolehkan
baik melalui membeli atau perang. Orang Yahudi dapat memperbudak sesama orang
Yahudi yang miskin. Jika seorang Yahudi mencuri ternak lalu disembelih atau
mencuri sesuatu kemudian dimakan habis, dan setelah tertangkap ia tidak sanggup
mengganti barang tersebut, maka ia dapat dijual oleh pemilik barang yang
dicurinya. Orang Yahudi juga dibolehkan menjual anak perempuannya untuk
dijadikan budak. Bila orang Yahudi berhutang dan tidak dapat melunasi hutangnya,
maka ia dapat mengadakan tawaran tentang harga dirinya yang dijual kepada si
pemberi hutang. Dengan jalan ini ia akan menjadi budak si pemilik uang selama
waktu yang ditentukan sampai ia merdeka kembali. Dalam Perjanjian Lama, Kitab
Keluaran 21: 2, dikatakan: “Jikalau kamu membeli hamba Ibrani, hanya enam tahun
ia boleh bekerja kepadamu, tetapi pada tahun ketujuh tak dapat tiada ia harus
dilepas menjadi orang merdeka dengan tidak membayar tebusan apa-apa.” Perang
merupakan cara termudah orang Yahudi mendapatkan budak dari kalangan non-Yahudi.
Dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 20: 10-14, disebutkan: “Arakian, maka
apabila kamu menghampiri salah satu negeri hendak menyerang dia, patutlah kamu
berseru kepadanya, suruh dia menyerahkan diri. Maka akan jadi jikalau
diluluskannya, menyerahkan dirinya serta dibukainya pintu gerbangnya akan kamu,
maka segala orang yang didapati di dalamnya itu hendaklah membayar upeti
kepadamu dan memperhambakan diri kepadamu. Tetapi jikalau tiada ia berdamai
dengan kamu melainkan ia hendak berperang juga dengan kamu, maka hendaklah kamu
mengepungi dia rapat-rapat. Maka jikalau diserahkan Tuhan, Allahmu, akan dia ke
tanganmu, hendaklah kamu membunuh segala orang laki-laki yang di dalamnya dengan
mata pedang. Tetapi segala orang perempuan dan segala anak-anak dan binatang dan
segala harta yang di dalam negeri itu, segala jarahan (rampasan perang)nya
hendak kamu rampas akan dirimu dan kamu akan makan barang jarahan dari musuhmu,
yang telah dikaruniakan Tuhan, Allahmu, kepadamu.” Karena itulah setiap kali
orang Yahudi mengalahkan kota kaum non-Yahudi, mereka selalu membunuh setiap
penduduk lelaki, merampas semua harta dan binatang, serta menjadikan seluruh
kaum perempuan dan anak-anak dalam kota tersebut sebagai budak.
Ketika agama Nasrani muncul, merekapun tidak
menentang perbudakan. Juga tidak menganjurkan orang-orang beriman supaya
menjauhkan generasi mereka dari sistem perbudakan. Rasul Paulus sendiri
memerintahkan supaya budak taat kepada tuannya, seperti mereka taat kepada
Jesus. Dalam Perjanjian Baru, Surat Kiriman kepada Orang Ephesus 6: 5-8,
dikatakan: “Hai segala hamba, hendaklah kamu menuruti perintah orang yang
menjadi tuanmu di dalam perkara dunia dengan takut dan gentar, serta tulus
hatimu seperti kepada Kristus. Bukannya dengan berpura-pura seperti hendak
menyukakan orang, melainkan seperti hamba Kristus, yang melakukan kehendak Allah
daripada hati. Dengan rela bekerja seperti kepada Tuhan dan bukannya kepada
manusia. Sebab mengetahui apa yang baik diperbuat masing-masing, itulah juga
diterimanya daripada Tuhan, baik hamba, baik merdeka.”
Sistem feodalisme pada Eropa Zaman
Pertengahan telah menjadikan kaum petani sebagai budak. Jika tuan tanah menjual
tanahnya, maka para petani yang berada di tanah tersebut ikut dijual ke pemilik
tanah yang baru. Kaum budak petani hanya dianggap alat untuk menggarap tanah.
Pada Zaman Pertengahan, orang Italia mengembangkan ladang tebu yang luas sekitar
paruh abad ke-12. Mereka menggunakan budak dari Rusia dan dari daerah-daerah
lain Eropa untuk melakukan pekerjaan. Karena banyak bangsa Rusia kala itu yang
ditangkap untuk dijadikan budak, rumpun bangsa Rusia pun populer disebut sebagai
ras Slavia (dari kata slaves -budak). Pada tahun 1300, orang kulit hitam Afrika
mulai menggantikan budak-budak Rusia. Budak kulit hitam itu dibeli atau
ditangkap dari negara-negara Arab di Afrika Utara.
Menjelang tahun 1500-an, Spanyol dan
Portugal membangun koloni-koloni di Amerika. Orang-orang Eropa mempekerjakan
Indian pribumi Amerika di perkebunan luas dan pertambangan di koloni-koloni di
Amerika. Kebanyakan orang Indian meninggal dunia karena terserang penyakit dari
Eropa, dan akibat perlakuan yang buruk. Karena itu Spanyol dan Portugal mulai
mendatangkan orang-orang dari Afrika Barat sebagai budak. Prancis, Inggris, dan
Belanda berbuat serupa di koloni-koloni mereka di Amerika. Para pedagang budak
menyebarkan paham bahwa masyarakat kulit hitam (ras Afrika) adalah ras yang
terkuat namun inferior, sehingga cocok untuk mengerjakan pekerjaan kasar dan
harus tunduk pada perintah. Pandangan inferioritas ini sama dengan yang terjadi
pada masa Romawi dan Yunani.
Pemilik perkebunan besar bisa memiliki
sampai 200 budak. Budak-budak bekerja berat dalam waktu sangat lama. Mereka
bekerja setiap hari mulai matahari terbit sampai matahari terbenam. Banyak dari
budak-budak itu hidup di gudang-gudang kecil dalam kondisi sangat menyedihkan,
tanpa fasilitas penghangat ataupun perabot rumah. Kadang-kadang 5 sampai 10
orang bersama-sama menempati satu ruangan. Budak pribadi biasanya tinggal di
rumah pemilik rumah. Mereka melakukan pekerjaan memasak dan membersihkan rumah.
Mereka bekerja dalam waktu lebih pendek daripada yang bekerja di ladang, tetapi
diawasi lebih ketat oleh pemilik rumah dan keluarganya.
Undang-undang di koloni-koloni Amerika
sebelah selatan menyatakan ilegal bagi budak untuk menikah, memiliki
harta-kekayaan, atau memperoleh kebebasan. Peraturan itu juga tidak mengizinkan
budak memperoleh pendidikan, bahkan untuk belajar membaca. Namun ada beberapa
pemilik budak yang memberi budak mereka uang sebagai bonus bagi pekerjaan yang
dikerjakan dengan baik. Ada pula pemilik budak yang menggunakan ancaman hukuman
untuk memaksa budak-budak agar bekerja. Hukuman itu antara lain pemukulan,
menahan pemberian makan dan mengancam akan menjual anggota keluarga budak itu.
Ada sebagian pemilik perkebunan meng-eksekusi budak-budak yang dicurigai
melakukan kejahatan serius dengan menghukum gantung atau membakarnya
hidup-hidup.
(http://www.voanews.com/indonesian/, Juni
2003).
Karena pekerjaan berat dilakukan oleh para
budak, para pemilik budak yang kaya mempunyai waktu dan pendidikan, sehingga
dapat sangat mempengaruhi kehidupan politik di koloni-koloni di Amerika sebelah
selatan. Mereka umumnya adalah anggota-anggota pemerintah lokal, dengan tugas
menghadiri pertemuan badan legislatif di ibukota koloni, biasanya dua kali
setahun. Pada awal tahun-tahun 1700-an, memiliki budak merupakan hal yang biasa
di kalangan orang kaya. Banyak dari pemimpin di koloni-koloni yang berperang
bagi kemerdekaan Amerika memiliki budak, termasuk para presiden Amerika.
Diperkirakan 11,8 juta rakyat Afrika diperdagangkan selama masa Perdagangan
Budak Atlantik, di mana sekitar 10 sampai 20%-nya tewas dalam perjalanan
menyeberangi samudra Atlantik. Pada abad ke-19, tercatat bahwa 90% budak belian
adalah anak-anak. (Sejarah Rasialisme Dunia. http://www.sekitarkita.com/,
diambil Februari 2007).
Beberapa negeri telah menjadi kaya raya
karena perdagangan budak ini. Perbudakan Afrika adalah saudara kembar
kolonialisme di benua itu. Tahun 1884 di Berlin, beberapa negara yaitu Inggris
Raya, Perancis, Spanyol, Jerman, Belgia, Belanda dan Portugal bertemu untuk
membagi-bagi wilayah Afrika di antara mereka. Masyarakat adat Afrika yang selama
ini dalam satu kesatuan, menjadi terbelah mengikuti garis kepemilikan yang
digambar di atas peta oleh bangsa Eropa, menjadi negara-negara yang berbeda.
Inilah sebabnya mengapa banyak suku etnik Afrika, misalnya suku Somalia, dapat
ditemukan tersebar di lima atau enam negara yang berbeda. Hal ini pula yang
menjadi benih konflik antar suku di Afrika, seperti antara suku Tutsi dan Hutu
yang kebetulan disatukan oleh garis batas negara Rwanda.
Nasib serupa dialami bangsa Melanesia yang
secara fisik mirip dengan bangsa Afrika, yaitu berkulit hitam dan berambut
keriting. Wilayah huniannya membentang dari Thailand, Filipina, Malaysia,
Indonesia, New Guinea, Australia, Timor, dan kepulauan Micronesia. Bangsa
Melanesia sebelumnya terdorong ke pedalaman oleh migrasi bangsa proto-Malay dari
Dataran Yunnan (Cina Selatan). Kedatangan bangsa Eropa selain menjajah bangsa
proto-Malay, banyak pula suku bangsa Melanesia di Filipina, Papua New Guinea,
Merauke, Fiji dan sekitarnya yang dibawa dengan paksa. Mereka dapat diambil di
hutan rimba wilayah Melanesia. Hasil perburuan manusia di wilayah Melanesia
telah sangat menguntungkan Australia dan Belanda. (Melanesia: A Nation in a
Coffin. by S. Karoba. http://www.westpapua.org.uk/, January 2000).
Kemajuan ekonomi negara-negara Eropa telah
melahirkan revolusi industri. Tenaga manusia mulai digantikan tenaga mesin,
sementara pengoperasian mesin membutuhkan keahlian. Sehingga industri lebih
membutuhkan buruh daripada budak yang tidak memiliki keahlian. Mulailah pada
abad ke-19, bangsa Eropa meninggalkan perbudakan. Namun hal tersebut hanya
berlaku terhadap perbudakan bangsa kulit putih, dimana selanjutnya perbudakan
tetap terjadi terhadap bangsa kulit hitam. Pada tahun 1926, komunitas
internasional melaksanakan konvensi pertama yang bertujuan menghapuskan
perbudakan dan perdagangan budak, yakni Slavery Convention yang kemudian diubah
dengan Protocol Amending the Slavery Convention pada 1953 dan ditambah oleh
Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and
Institutions and Practices Similar to Slavery oleh Konferensi PBB di Jenewa
tahun 1956.
Meskipun demikian, pada abad ke-21 ini
praktik-praktik yang mirip perbudakan atau perdagangan manusia masih dapat
dijumpai di beberapa negara. Praktik-praktik ini meliputi jual-beli anak,
pelacuran anak, pornografi anak, eksploitasi buruh anak-anak, penghambaan
sebagai penebus hutang, perdagangan perempuan dan perdagangan organ tubuh
manusia, serta praktik-praktik tertentu di bawah rezim apartheid dan
penjajahan.
Di Kolumbia (Amerika Selatan), gerilyawan
FARC (milisi komunis yang terlibat perdagangan kokain) menculik anak-anak dan
ditempatkan dalam penampungan terpencil, serta dirantai pada malam hari agar
tidak melarikan diri. Mereka dilatih menjadi tentara anak-anak serta mengerjakan
berbagai pekerjaan fisik demi kepentingan FARC. Wanita-wanita Meksiko yang
hendak bekerja di Amerika, sering mengalami penipuan dan dipaksa dijadikan
pelacur. Di Indonesia, hal ini terjadi dengan Batam dan Singapura sebagai
tempat-tempat pelacurannya. Dalam beberapa negara terjalin hubungan antara
pelacuran dan pornografi (khususnya yang melibatkan anak-anak) seiring
pertumbuhan turisme. Saat terjadi pembantaian terhadap etnis Bosnia pada
pertengahan dekade 1990-an, banyak ditemukan situs-situs seks Eropa yang
menawarkan anak-anak pengungsi Bosnia. Orang-orang miskin (seperti anak jalanan
dan perempuan berpendidikan rendah) serta pengungsi (korban perang dan musibah
alam), merupakan kalangan yang sering menjadi sasaran para pedagang budak
modern.
1 komentar:
Posting Komentar